Selasa, 14 Oktober 2014

kuda silat dari Buahdua

Sumedang: Matahari baru saja menyinari
Kota Sumedang, Jawa Barat.
Kota yang termasyhur dengan
makanan tahu ini sepintas
memang tak terlalu istimewa
dibanding kota-kota lain di Tanah Pasundan yang
umumnya dikelilingi bukit
dan pegunungan. Namun tak
banyak yang mengetahui, di
balik keindahan panorama
alam kota di kaki Gunung Tampomas ini banyak
menyimpan tradisi unik. Satu
di antara tradisi yang cukup
melegenda adalah kuda
renggong atau kuda silat.
Disebut demikian lantaran hewan itu memiliki
kepiawaian ngarenggong yang
artinya menari.
Tradisi kuda renggong amat
mengakar di tengah
masyarakat Sumedang. Lantaran itulah, tak terlalu
sulit menemukan warga
Sumedang, khususnya di
pedesaan, larut mengibing
bersama kuda-kuda yang
terlatih menari. Tengoklah suasana di halaman rumah
seorang warga Desa Ciherang,
Kecamatan Rancakalong,
Kabupaten Sumedang. Belum
lama ini, kegembiraan meruap
riang seiring alunan suara sinden dan nada-nada petabuh
gamelan. Seperti tak ada
jarak antara hewan dan
manusia dalam tradisi ini.
Keceriaan ini adalah
gambaran dari kesibukan sehari-hari di halaman
kediaman Memet, menjelang
Festival Kuda Renggong.
Anggota grup Duyung dari
Desa Ciherang ini setiap hari
memang selalu berkumpul di rumah Memet untuk berlatih.
Kuda renggong adalah bentuk
kesenian yang sangat populer
di Sumedang. Hampir setiap
desa di kabupaten yang
berjarak sekitar 45 kilometer dari Kota Bandung ini
mempunyai kelompok
kesenian kuda renggong.
Begitu populernya kesenian
ini, sehingga setiap kali
gamelan kuda renggong ditabuh akan selalu
mengundang kehadiran
banyak orang.
Sejatinya, kuda silat adalah
seni menaklukkan dan melatih
kuda agar bisa menari dan bermain silat. Seperti halnya
karakter orang Sumedang
yang sangat menggandrungi
ngibing, maka setiap
pementasan kuda renggong
pun selalu dimeriahkan tarian dari siapa pun yang tak
tahan untuk berjoget.
Begitulah bergoyang
sepuasnya mengikuti alunan
musik, bahkan hingga
mengalami transenden atau kerasukan.
Di Sumedang, kuda silat
kelompok Duyung dari Desa
Ciherang yang dipimpin
Memet memang cukup
tersohor. Grup kesenian ini telah memenangkan beberapa
kali kejuaraan kuda
renggong. Popularitas mereka
telah membuat kelompok ini
sering diundang ke berbagai
hajatan. Acapkali bila ada sunatan di Ciherang, mereka
akan diundang untuk
menghibur pengantin sunat.
Sang pengantin sunat naik ke
atas pelana lalu diarak
keliling kampung. Maklum, bagi warga Sumedang adalah
suatu kebanggaan bila mereka
bisa mengundang grup
Duyung saat khitanan.
Kendati tak terlalu banyak
berharap akan meraih juara, kebiasaan Memet sedikit
berubah menjelang
perlombaan. Kuda-kuda
miliknya diperlakukan cukup
istimewa. Rumput yang
disajikan tak lagi rumput sembarangan. Namun,
rumput-rumput pilihan.
Perawatan tubuh kuda juga
dilakukan dengan hati-hati,
termasuk cara memandikan
hewan tersebut. Kecintaan Memet terhadap
kuda muncul sejak kecil.
Tepatnya, saat dirinya sering
diajak sang ayah ke arena
pacuan balap kuda. Kebetulan,
ayahnya memang seorang joki tangguh yang cukup disegani
seantero Sumedang. Sejak
itulah, kecintaan Memet
terhadap kuda dari hari ke
hari semakin besar. Kendati
demikian, dia tak mengikuti jejak ayahnya sebagai joki.
Memet lebih senang melatih
kuda menari atau bersilat.
Tak sia-sia, kini tiga kuda
miliknya yang diberi nama Si
Lipur, Si Dongdot, serta Si Duyung sudah pandai menari
dan bersilat.
Tradisi kuda renggong ini tak
lepas dari sejarah masa
lampau. Pada permulaan abad
XVIII, kuda menjadi alat transportasi di kalangan
menak atau bangsawan
Sumedang. Terutama saat
memeriksa daerah
kekuasaanya. Ini tak terlepas
dari titah Bupati Sumedang Pangeran Aria Suriaatmaja
yang berkuasa pada tahun 1882
sampai 1919. Untuk itu,
Pangeran Aria yang juga
dijuluki sebagai Pangeran
Mekah mendatangkan banyak kuda dari Pulau Sumbawa,
Nusatenggara Barat dan
Pulau Sumba, Nusatenggara
Timur. Akibatnya, kala itu,
jumlah kuda-kuda di
Sumedang membengkak mencapai ratusan ekor.
Biasanya, kuda-kuda ini
dititipkan ke penduduk
setempat untuk dipelihara.
Dan tersebutlah salah seorang
pemelihara kuda bernama Sipan, warga Desa Cikurubuk,
Kecamatan Buahdua, sekitar
20 kilometer dari Sumedang.
Sejak kecil, Sipan yang
dijuluki Ki Sipan sudah
menyenangi kuda. Dia merasa senang jika diperintahkan
ayahnya yang bernama Bidin
untuk memandikan kuda.
Mula-mula Sipan mencoba
mengiringi kuda yang akan
dimandikan dengan iringan tetabuhan bambu angklung dan
dogdog atau sejenis perkusi
dogdog. Ternyata, kuda
peliharaannya mengikuti
irama musik tersebut dan
menggerak-gerakkan kakinya, seperti yang telah diajarkan
atau dilatih.
Pangeran Aria mendengar
kabar itu. Dia gembira. Dua
ekor kuda bernama Si Ciengek
dan Si Dengek dikirimkan untuk dilatih Sipan. Dan
untuk pertama kalinya pula,
sewaktu acara khitanan
keluarga Pangeran Aria, Si
Cengek dan Si Dengek menari
di depan warga Sumedang. Awalnya, mereka menyebut
kuda renggong itu sebagai
"kuda igel" karena dapat
ngigel atau menari.
Selepas Ki Sipan wafat pada
tahun 1939, kemampuan melatih kuda pun diteruskan
anaknya yang bernama Ki
Sukria. Semenjak itulah
hingga sekarang, tradisi kuda
renggong tetap dilestarikan.
Bukan perkara gampang membuat kuda piawai menari
dan bersilat. Perlu
keterampilan dan kesabaran
yang memadai. Dalam hal ini,
Memet tak bekerja sendiri.
Dia dibantu pelatih kuda silat. Terutama buat
menghadapi Festival Kuda
Renggong.
Malam menjelang Festival
Kuda Renggong, Memet
bersama sejumlah anggota tim kuda renggongnya pergi ke
Bukit Kalajengking.
Tujuannya berikhtiar ke
sebuah batu besar yang
menurut cerita turun
temurun ada bekas tapak kaki kuda terbang. Konon, tapak
kaki ini adalah bekas pijakan
kuda putih bersayap milik
seorang pangeran. Sebagian
pecinta kuda percaya,
menjelang lomba kuda, ikhtiar ke Bukit Kalajengking
akan membuat kuda jagoannya
menang.
Dan, tibalah hari lomba yang
dinanti-nanti. Tim duyung
tampak sibuk mempersiapkan diri menuju arena lomba.
Meski sebelumnya tak pernah
mendapat gelar juara pada
setiap lomba, mereka berharap
kuda dari timnya berlaga
dengan penuh gairah. Tentunya, grup Duyung tak
mau kalah dengan 12 peserta
tim kuda renggong dari
kecamatan lain.
Sebelum menuju arena, ritual
khusus pun dilakukan, yakni membakar kemenyan. Harum
kemenyan yang sudah diberi
air jampi-jampi ini
dipercaya bisa membuat
kuda-kuda menari dengan
lincah dan bersilat dengan tangguh. Setelah semua
rampung, tim Duyung pun
bergerak menuju arena
pertarungan dengan
menggunakan truk sewaan.
Sesampainya di lokasi lomba, para pelatih memberikan
instruksi agar mereka bisa
tampil optimal. Maklumlah,
tim-tim lawan cukup tangguh.
Dari tiga belas peserta, grup
Duyung mendapat giliran kedua. Nomor urut ini cukup
menguntungkan karena
mereka tak perlu lama
menunggu giliran.
Animo masyarakat Sumedang
menyaksikan lomba ini pun cukup tinggi. Baik tua
maupun muda, serta anak-
anak datang ke arena untuk
menyaksikan kuda-kuda
menari dan bersilat.
Dalam lomba ini, tim juri akan menilai gerakan-gerakan
kuda. Ada beberapa gerakan
yang dinilai. Pertama adalah
adegan di mana kuda
bergerak melintang atau ke
pinggir. Kedua, torolong atau kuda bergerak dengan
langkah kaki pendek-pendek
dan cepat. Ketiga, derap atau
jorog yakni gerak langkah
kaki kuda jalan biasa. Dan
terakhir, congklang yakni kuda bergerak dengan kedua
kaki bersamaan ke arah depan.
Pada festival kali ini,
kelompok Duyung turun di
nomor tarian dan silat. Dua
nomor ini memang menjadi andalan mereka. Usai
mengikuti lomba dan sambil
menunggu hasil penilaian
juri, tim duyung pun
beristirahat sambil bersantap
siang. Rasa penat selepas lomba dan hawa terik di
Sumedang, siang itu cukup
menyedot energi mereka.
Satu per satu peserta telah
tampil. Kini tibalah saatnya
mendengar pengumuman dewan juri yang menentukan
para juara. Tak disangka-
sangka, meski bukan sebagai
juara pertama, tim Duyung
mampu menyabet gelar juara.
Mereka meraih juara dua kuda silat dan juara harapan
pertama kuda renggong.
Grup Duyung pun menyambut
kemenangan ini dengan penuh
kegembiraan. Mereka benar-
benar tak menduga bakal bisa menjadi juara. Di pengujung
acara, kegembiraan peserta
pun ditutup dengan
mengibing bersama kuda-
kuda. Sebuah tradisi masa
silam yang entah sampai kapan akan bertahan.(ANS/Satriana
Budi dan Anambotono) SHARE